} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

FIQH DALAM MENG-HAJR AHLUL BID'AH (3)

هجر المبتدعة -- وجوبه وضوابطه
وهو بحث مختصر لفضيلة شيخنا المبارك أبي عبد الله محمد بن علي بن حزام البعداني حفظه اللّــــه ورعاه ونفع به الإســلام والمسلمين

MEMUTUS HUBUNGAN DENGAN AHLUL BID'AH, KEWAJIBANNYA DAN PEDOMAN-PEDOMANNYA, Sebuah penelitian singkat dari syaikh kami yang mulia, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam al-Ba'adani semoga Allah menjaga dan melindungi beliau serta bermanfaat bagi umat Islam dan Muslimin

Terjemah bebas dari:

Part 1   -   Part 2   -   Part 3   -   Part 4

Catatan penting! : 
Bacalah penelitian ini setelah kamu paham dengan jelas dan tidak ambigu tentang  definisi ahlul bid'ah atau mubtadi' di sisi ulama hadits dan jarh wa ta'dil agar proporsional dalam praktek dan sesuai dengan maksud penulis -Ed

وَهَذَا لِأَنَّ الْهَجْرَ مِنْ " بَابِ الْعُقُوبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ " فَهُوَ مِنْ جِنْسِ الْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَهَذَا يُفْعَلُ لِأَنْ تَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا، وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ.

Hal ini karena hajr (memutus hubungan) termasuk dalam "Bab Hukuman Syari'ah", dan itu merupakan bagian dari jenis jihad di jalan Allah. Hal ini dilakukan agar supaya firman Allah adalah yang paling tinggi, dan seluruh agama hanya milik Allah.

وَالْمُؤْمِنُ عَلَيْهِ أَنْ يُعَادِيَ فِي اللَّهِ وَيُوَالِيَ فِي اللَّهِ؛ فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مُؤْمِنٌ فَعَلَيْهِ أَنْ يُوَالِيَهُ وَإِنْ ظَلَمَهُ؛ فَإِنَّ الظُّلْمَ لَا يَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ الإيمانية، قالَ تَعَالَى: {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إخْوَةٌ} فَجَعَلَهُمْ إخْوَةً مَعَ وُجُودِ الْقِتَالِ وَالْبَغْيِ وَالْأَمْرِ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَهُمْ.

Seorang mukmin diwajibkan untuk membenci dan mencintai seseorang karena Allah. Jika ada seorang mukmin, maka ia harus mencintainya, bahkan jika orang itu berlaku zalim terhadapnya. Karena kezaliman tidak memutuskan persahabatan dalam iman, sebagaimana firman Allah: "Jika dua kelompok mukmin saling berperang, maka perbaikilah hubungan keduanya. Jika satu di antara keduanya melanggar kesepakatan, maka perangilah yang melanggar hingga kembali pada perintah Allah. Jika sudah kembali, perbaikilah hubungan keduanya dengan cara yang adil dan lurus. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dan lurus. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 9) Allah menjadikan mereka saudara meskipun ada perang dan kesewenangan, dan menganjurkan untuk memperbaiki hubungan di antara mereka.

فَلْيَتَدَبَّرْ الْمُؤْمِنُ الْفَرْقَ بَيْنَ هَذَيْنِ النَّوْعَيْنِ فَمَا أَكْثَرَ مَا يَلْتَبِسُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ وَلْيُعْلَمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ تَجِبُ مُوَالَاتُهُ وَإِنْ ظَلَمَك وَاعْتَدَى عَلَيْك، وَالْكَافِرُ تَجِبُ مُعَادَاتُهُ وَإِنْ أَعْطَاك وَأَحْسَنَ إلَيْك؛ فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ بَعَثَ الرُّسُلَ وَأَنْزَلَ الْكُتُبَ لِيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ؛ فَيَكُونُ الْحَبُّ لِأَوْلِيَائِهِ وَالْبُغْضُ لِأَعْدَائِهِ، وَالْإِكْرَامُ لِأَوْلِيَائِهِ وَالْإِهَانَةُ لِأَعْدَائِهِ، وَالثَّوَابُ لِأَوْلِيَائِهِ وَالْعِقَابُ لِأَعْدَائِهِ.

Maka hendaklah seorang mukmin memperhatikan perbedaan antara kedua jenis ini, karena begitu banyak orang yang bingung membedakannya. Hendaklah diketahui bahwa seorang mukmin harus bersikap baik dan membantu bahkan jika ia diperlakukan secara tidak adil dan disakiti. Sedangkan seorang kafir harus diperangi meskipun ia memberikan kebaikan kepadamu. Karena Allah telah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab untuk menjadikan agama hanya untuk-Nya. Oleh karena itu, cinta harus diberikan kepada orang-orang yang mendukung Allah, dan kebencian harus diberikan kepada musuh-musuh-Nya. Penghargaan harus diberikan kepada orang-orang yang mendukung Allah, sedangkan penghinaan harus diberikan kepada musuh-musuh-Nya. Balasan pahala harus diberikan kepada orang-orang yang mendukung Allah, dan hukuman harus diberikan kepada musuh-musuh-Nya.

وَإِذَا اجْتَمَعَ فِي الرَّجُلِ الْوَاحِدِ خَيْرٌ وَشَرٌّ وَفُجُورٌ، وَطَاعَةٌ وَمَعْصِيَةٌ، وَسُنَّةٌ وَبِدْعَةٌ: اسْتَحَقَّ مِنْ الْمُوَالَاةِ وَالثَّوَابِ بِقَدْرِ مَا فِيهِ مِنْ الْخَيْرِ وَاسْتَحَقَّ مِنْ الْمُعَادَاتِ وَالْعِقَابِ بِحَسَبِ مَا فِيهِ مِنْ الشَّرِّ فَيَجْتَمِعُ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ مُوجِبَاتُ الْإِكْرَامِ وَالْإِهَانَةِ فَيَجْتَمِعُ لَهُ مِنْ هَذَا وَهَذَا كَاللِّصِّ الْفَقِيرِ تُقْطَعُ يَدُهُ لِسَرِقَتِهِ وَيُعْطَى مِنْ بَيْتِ الْمَالِ مَا يَكْفِيهِ لِحَاجَتِهِ.

Ketika ada dalam seorang manusia kebaikan dan kejahatan, kepatuhan dan pelanggaran, sunnah dan bid'ah, maka ia layak mendapatkan penghargaan dan pahala sejauh ia melakukan kebaikan, dan ia juga layak mendapatkan kecaman dan hukuman sejauh ia melakukan kejahatan. Oleh karena itu, dalam diri seseorang terdapat tuntutan penghargaan dan penghinaan, yang keduanya harus diberikan sesuai dengan tindakan yang dilakukan, seperti seorang pencuri miskin yang dipotong tangannya karena mencuri, tetapi diberikan apa yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dari baitul mal.

هَذَا هُوَ الْأَصْلُ الَّذِي اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَخَالَفَهُمْ الْخَوَارِجُ وَالْمُعْتَزِلَةُ، وَمَنْ وَافَقَهُمْ عَلَيْهِ؛ فَلَمْ يَجْعَلُوا النَّاسَ إلَا مُسْتَحِقًّا لِلثَّوَابِ فَقَطْ أو مُسْتَحِقًّا لِلْعِقَابِ فَقَطْ.

Ini adalah prinsip yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan menyelisihi mereka dari kalangan Khawarij dan Mu'tazilah dan yang sepaham dengan mereka; mereka tidak membuat manusia kecuali hanya pantas untuk menerima balasan kebaikan saja atau pantas untuk menerima hukuman saja.

وَأَهْلُ السُّنَّةِ يَقُولُونَ: إنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ بِالنَّارِ مِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ مَنْ يُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِشَفَاعَةِ مَنْ يَأْذَنُ لَهُ فِي الشَّفَاعَةِ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ كَمَا اسْتَفَاضَتْ بِذَلِكَ السُّنَّةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.اﻫ

Orang-orang Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah akan mengazab dengan api neraka orang-orang yang melakukan dosa besar. Namun setelah diadzab, Allah akan mengeluarkan mereka dari neraka melalui syafaat orang yang diizinkan oleh Allah untuk memberikan syafaat berkat rahmat-Nya. Hal ini sesuai dengan ajaran Sunnah dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah Maha Suci, Maha Tinggi. Dia-lah Yang Maha Mengetahui. Semoga Allah memberkati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya. Allah Maha Mengetahui.

Selesei nukilah dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah -Ed


قال أبو عبد الله غفر الله له: 
وقد قرأنا هذا الكلام المفيد لشيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله على طلابنا في عدد من المجالس، وما كنت أظن أن يتجرأ أحدٌ لتخطئة شيخ الإسلام في هذا الكلام الطيب المبارك، أو يكره كلامه رحمه الله.

Abu Abdillah berkata, semoga Allah mengampuninya: "Kami telah membaca kalimat yang bermanfaat ini dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah semoga Allah merahmatinya kepada para murid kami dalam beberapa majlis, dan saya tidak pernah berpikir bahwa seseorang akan berani untuk mengkritik Syekhul Islam dalam perkataan baik dan mulia ini, atau membenci perkataannya semoga Allah merahmatinya."

وكلام شيخ الإسلام رحمه الله لا يتنافى مع ما تقدم نقله عن الأئمة والسلف؛ فالسلف رحمهم الله أيضًا كانوا يرون ترك ما يتعلق بإهانة المبتدع وزجره إذا عرضت مصلحة شرعية أرجح من ذلك.

Pernyataan dari Syaikhul Islam, semoga Allah merahmatinya, tidak bertentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya dan diriwayatkan dari para imam dan salaf. Para salaf, semoga Allah merahmati mereka, juga memandang untuk meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan menghina mubtadi' dan cukup menasihatinya, jika terdapat manfaat syar'i yang lebih besar daripada itu."

ومن أمثلة ذلك: الرواية عن المبتدعة، وأخذ الحديث عنهم، وهي مسألة مشهورة عند أهل السنة والحديث، وقد اختلف السلف في هذه المسألة إلى ثلاثة أقوال: 

قَالَ الإِمَامُ ابنُ رَجَبٍ رَحِمَهُ اللهُ فِي شَرحِ العِلَلِ (١/ ٣٥٦): 

وَهَذِهِ المَسْأَلَةُ قَدْ اخْتَلَفَ العُلَماءُ فِيهَا، قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَهِيَ الرِّوَايةُ عَنْ أَهْلِ الأَهْوَاءِ وَالبِدَعِ.

Salah satu contohnya adalah meriwayatkan dari ahlul bid'ah dan mengambil hadits dari mereka, yang merupakan masalah yang dikenal di kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah. Para salaf berbeda pendapat dalam masalah ini pada tiga pendapat. 

Imam Ibnu Rajab, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam komentarnya pada kitab Al-'Ilal (1/356):

Masalah ini telah diperdebatkan oleh para ulama, baik yang telah lalu maupun saat ini, yakni meriwayatkan dari orang-orang ahlul ahwa' dan bida'.

فَمَنَعَتْ طَائِفَةٌ مِنَ الرِّوَايةِ عَنْهُم، كَمَا ذَكَرَهُ ابنُ سِيرين، وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ مَالِكٍ، وَابنِ عُيَينَةَ، وَالحُمَيدِيِّ، وَيُونُسَ بنِ أبي إِسْحَاقَ، وَعَلِيِّ بنِ حَرْبٍ وَغَيرِهِم. وَرَوَى أَبُو إِسْحَاقَ الفَزَارِيُّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الحَسَنِ، قَالَ: لَا تَسْمَعُوا مِنْ أَهْلِ الأَهْوَاءِ. أَخْرَجَهُ ابنُ أَبِي حَاتَمٍ.

وَرَخَّصَ طَائِفَةٌ فِي الرِّوَايَةِ عَنْهُم إِذَا لَم يُتَّهَمُوا بِالكَذِبِ، مِنْهُم أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَحْيَى بنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بنُ المَدِينيِّ، وَقَالَ ابنُ المَدِينِيِّ: لَو تركت أَهل البَصْرَةِ لِلقَدَرِ، وتركت أَهْل الكُوفَةِ لِلتَّشَيُعِ لخَرِبَت الكُتُب.

Satu kelompok melarang dari meriwayatkan dari mereka, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Sirin, dan juga disebut oleh Malik, Ibnu Uyainah, Al-Humaidi, Yunus bin Abi Ishaq, Ali bin Harb, dan lain-lain. Abu Ishaq Al-Fazari meriwayatkannya dari Zaidah, dari Hisyam, dari Hasan, yang berkata: "Jangan mendengarkan dari ahlul ahwa'." Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Dan ada kelompok yang memperbolehkan meriwayatkan dari mereka, asalkan mereka tidak dituduh berdusta. Diantara mereka adalah Abu Hanifah, Asy-Syafi'i, Yahya bin Sa'id, Ali bin Al-Madini. Ibnu Al-Madini berkata: "Jika aku meninggalkan Ahlul Basrah karena (masalah) qadar dan meninggalkan Ahlul Kufah karena tasyayyu', maka kitab-kitab akan hancur."

وَفَرَّقَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى بَينَ الدَّاعِيةِ وَغَيرِهِ، فَمَنَعُوا الرِّوَايةَ عَن الدَّاعِيةِ إِلِى البِدْعَةِ دُونَ غَيرِهِ. مِنْهُم: ابنُ المُبَاركِ، وابنُ المَهْدِيِّ، وَأَحْمدُ بنُ حَنْبل، وَيَحْيَى بنُ مَعِينٍ وَرُوِي أَيْضًا عَن مَالِكٍ.اﻫ ثم بحث المسألة رحمه الله. 

Dan kelompok lain membedakan antara da'i dan yang selainnya, sehingga mereka mencegah meriwayatkan dari da'i yang menyeru pada bid'ah dan tidak dari selainnya. Di antara mereka adalah Ibnu Mubarak, Ibnu Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, dan juga diriwayatkan dari Malik. Kemudian, masalah ini diteliti oleh beliau (semoga Allah merahmatinya).

وَقَالَ الإِمَامُ البَغَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي شَرحِ السُّنَةِ (١/ ٢٤٨): 

وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوا فِي رِوَايَةِ الْمُبْتَدِعَةِ، وَأَهْلِ الأَهْوَاءِ، فَقَبِلَهَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيثِ، إِذَا كَانُوا فِيهَا صَادِقِينَ، فَقَدْ حَدَّثَ مُحَمَّدُ بْنُ إسماعيل عن عَبَّادِ بْنِ يَعْقُوبَ الرَّوَاجِنِيِّ، وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: حَدَّثَنَا الصَّدُوقُ فِي رِوَايَتِهِ الْمُتَّهَمُ فِي دِينِهِ عَبَّادُ بْنُ يَعْقُوبَ. 

وَاحْتَجَّ أَيْضًا الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ بِمُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ الأَلْهَانِيِّ، وَحَرِيزِ بْنِ عُثْمَانَ الرَّحَبِيِّ، وَقَدِ اشْتَهَرَ عَنْهُمَا النَّصْبُ، وَاتَّفَقَ الْبُخَارِيُّ، وَمُسْلِمٌ عَلَى الاحْتِجَاجِ بِأَبِي مُعَاوِيَةَ مُحَمَّدِ بْنِ حَازِمٍ الضَّرِيرِ، وَعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مُوسَى، وَقَدِ اشْتَهَرَ عَنْهُمَا الْغُلُوُّ. 

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarh al-Sunnah (1/248):

Mereka berbeda pendapat dalam riwayat ahlul bid'ah dan ahwa', sebagian besar ahli hadits menerima riwayat tersebut jika mereka jujur. Muhammad bin Ismail telah meriwayatkan dari Abbad bin Ya'qub al-Rawajini, dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah mengatakan: 'Al-Saduq meriwayatkan dalam riwayatnya yang dipersoalkan dalam agamanya dari Abbad bin Ya'qub.' 

Al-Bukhari juga berhujjah (mengambil dalil) dalam Shahihnya dari Muhammad bin Ziyad al-Alhani, Hariz bin Utsman al-Rahbi, dan telah terkenal dari keduanya adanya tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan Bukhari dan Muslim sepakat dalam berhujjah dengan Abu Mu'awiyah Muhammad bin Hazim al-Dzariir, Ubaidillah bin Musa, dan telah terkenal dari keduanya adanya ghuluw.

وَأَمَّا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، فَيَقُولُ: «لَا يُؤْخَذُ حَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ صَاحِبِ هَوًى، يَدْعُو النَّاسَ إِلَى هَوَاهُ، وَلا مِنْ كَذَّابٍ يَكْذِبُ فِي حَدِيثِ النَّاسِ، وَإِنْ كُنْتَ لَا تَتَّهِمُهُ بِأَنْ يَكْذِبَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» ، ذَكَرَ هَذَا الاخْتِلافَ فِي قَبُولِ رِوَايَةِ هَؤُلاءِ الْحَاكِمُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ فِي كِتَابِهِ. 

Dan mengenai Malik bin Anas, ia berkata: "Tidak boleh mengambil hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari orang yang mengikuti hawa nafsunya, menyeru orang kepada hawa nafsunya, atau dari pembohong yang berdusta dalam hadits orang lain, meskipun kamu tidak menuduhnya berdusta terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Perbedaan dalam menerima riwayat orang-orang ini disebutkan oleh al-Hafidz Abu Abdillah al-Hakim dalam bukunya.

وَسُئِلَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يُكْتَبُ عَنِ الْمُرْجِئِ وَالْقَدَرِيِّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الأَهْوَاءِ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا لَمْ يَكُنْ يَدْعُو إِلَيْهِ، وَيُكْثِرُ الْكَلامَ فِيهِ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ دَاعِيًا، فَلا .اﻫ 

Ahmad bin Hanbal ditanya tentang orang-orang Murjiah, Qadariyah, dan kelompok ahli bid'ah lainnya. Ia berkata: "Boleh menerima hadits dari mereka jika mereka tidak menyeru kepada bid'ah mereka dan tidak banyak bicara tentangnya. Namun jika mereka menyeru orang kepada bid'ah mereka, maka tidak boleh".

وَقَالَ الإِمَامُ ابنُ دَقِيق العِيد رَحِمَهُ اللهُ فِي الاقْتِرَاح (ص١٥٩): 

نرى أَن من كَانَ دَاعِيَة لمذهبه المبتدع، متعصبا لَهُ متجاهرا بباطله أَن تتْرك الرِّوَايَة عَنهُ إهانة لَهُ وإخمادا لبدعته فَإِن تَعْظِيم المبتدع تنويه لمذهبه بِهِ *اللَّهُمَّ إِلَّا أَن يكون ذَلِك الحَدِيث غير مَوْجُود لنا إِلَّا من جِهَته فَحِينَئِذٍ تقدم مصلحَة حفظ الحَدِيث على مصلحَة إهانة المبتدع*.اﻫ

Al-Imam Ibn Daqiq al-Eid rahimahullah berkata dalam al-Iqtirah (hal. 159):

Kami berpendapat bahwa bagi orang yang menjadi penyeru suatu madzhab bid’ah, fanatik kepadanya, dan secara terang-terangan memperjuangkan kesesatan tersebut, maka hadits yang diriwayatkan dari dirinya sebaiknya diabaikan untuk menghindari menghormati dan memperkuat bid’ahnya. Namun, jika hadits tersebut tidak diketahui kecuali melalui dirinya, maka pada saat itu, memprioritaskan kepentingan menjaga hadits daripada merendahkan orang bid’ah.

وقال الإمام الذهبي رحمه الله في ”سير أعلام النبلاء“ (٧/ ١٥٤)

إِذَا عُلِمَ صِدْقُهُ فِي الحَدِيْثِ وَتَقْوَاهُ، وَلَمْ يَكُنْ دَاعِياً إِلَى بِدْعَتِهِ، فَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ العُلَمَاءِ قَبُولُ رِوَايَتِهِ، وَالعَمَلِ بِحَدِيْثِهِ، وَتَرَدَّدُوا فِي الدَّاعِيَةِ، هَلْ يُؤْخَذُ عَنْهُ؟

فَذَهَبَ كَثِيْرٌ مِنَ الحُفَّاظِ إِلَى تَجَنُّبِ حَدِيْثِهِ، وَهُجْرَانِهِ. وَقَالَ بَعْضُهُم: إِذَا عَلِمْنَا صِدْقَهُ، وَكَانَ دَاعِيَةً، وَوَجَدْنَا عِنْدَهُ سُنَّةً تَفَرَّدَ بِهَا، فَكَيْفَ يَسُوغُ لَنَا تَرْكُ تِلْكَ السُّنَّةِ؟

فَجَمِيْعُ تَصَرُّفَاتِ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ، تُؤْذِنُ بِأَنَّ المُبتَدِعَ إِذَا لَمْ تُبِحْ بِدعَتُه خُرُوْجَه مِنْ دَائِرَةِ الإِسْلاَمِ، وَلَمْ تُبِحْ دَمَهُ، فَإِنَّ قَبُولَ مَا رَوَاهُ سَائِغٌ.

وَهَذِهِ المَسْأَلَةُ لَمْ تَتَبَرْهَنْ لِي كَمَا يَنْبَغِي، وَالَّذِي اتَّضَحَ لِي مِنْهَا: أَنَّ مَنْ دَخَلَ فِي بِدعَةٍ، وَلَمْ يُعَدَّ مِنْ رُؤُوْسِهَا، وَلاَ أَمْعَنَ فِيْهَا، يُقْبَلُ حَدِيْثُه.اﻫ

Dalam kitab "Siyar A'lam Al-Nubala" (7/154), Imam Al-Dhahabi rahimahullah berkata:

Jika diketahui kejujurannya dan ketakwaannya dalam hadits, dan dia tidak mengajak kepada bid'ahnya, maka yang wajib bagi mayoritas ulama adalah menerima riwayatnya dan mengamalkan haditsnya. Namun mereka masih ragu tentang penyeru bid'ahnya, apakah haditsnya bisa diterima atau tidak?

Banyak para ulama memilih untuk menjauhi haditsnya dan menghindarinya. Namun, ada juga yang berkata: Jika kita mengetahui kejujuran dirinya dan dia merupakan seorang da'i, serta ditemukan sunnah yang khusus untuknya, bagaimana mungkin kita meninggalkan sunnah itu?

Semua tindakan para Imam Hadits menunjukkan bahwa mubtadi' jika tidak mengumumkan bid'ahnya, tidak keluar dari lingkaran Islam dan tidak dihalalkan darahnya, maka penerimaan hadits yang dia riwayatkan adalah sah.

Dan masalah ini belum terbukti bagi saya seperti yang seharusnya, dan yang saya pahami darinya: bahwa siapa yang terjerumus dalam bid'ah, dan tidak dianggap sebagai pemimpinnya, dan tidak menelaahnya secara mendalam, maka haditsnya diterima.


Bersambung di PART 4 Insya Allah...




TRENDING