} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

FIQH DALAM MENG-HAJR AHLUL BID'AH (4)

هجر المبتدعة -- وجوبه وضوابطه
وهو بحث مختصر لفضيلة شيخنا المبارك أبي عبد الله محمد بن علي بن حزام البعداني حفظه اللّــــه ورعاه ونفع به الإســلام والمسلمين

MEMUTUS HUBUNGAN DENGAN AHLUL BID'AH, KEWAJIBANNYA DAN PEDOMAN-PEDOMANNYA, Sebuah penelitian singkat dari syaikh kami yang mulia, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam al-Ba'adani semoga Allah menjaga dan melindungi beliau serta bermanfaat bagi umat Islam dan Muslimin

Terjemah bebas dari:

Part 1   -   Part 2   -   Part 3   -   Part 4

Catatan penting! : 
Bacalah penelitian ini setelah kamu paham dengan jelas dan tidak ambigu tentang  definisi ahlul bid'ah atau mubtadi' di sisi ulama hadits dan jarh wa ta'dil agar proporsional dalam praktek dan sesuai dengan maksud penulis -Ed


وَقَالَ الذَّهَبِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي مِيزَانِ الاعتِدَال (تَرْجَمةُ/ أَبَانَ بنِ تَغْلِب): 

Dan berkata Al-Dzahabi semoga Allah merahmatinya dalam Mi'zan al-I'tidal (Biografi / Aban bin Taghlib):

فَلِقَائِلٍ أَنْ يَقُولَ: كَيفَ سَاغَ تَوثِيقُ مُبتَدِعٍ وَحَدُّ الثِّقَةِ العَدَالةُ وَالإِتْقَانُ؟ فَكَيفَ يَكُونُ عَدْلًا مَن هُوَ صَاحِبُ بِدَعْةٍ؟ وَجَوَابُهُ: أَنَّ البِدْعَةَ عَلَى ضَرْبَينِ: فَبِدَعَةٌ صُغْرَى كَغُلوِّ التَّشَيُّعِ، أَوِ كَالتَّشَيُّعِ بِلَا غُلُوٍ وَلَا تَحَرفٍ، فَهَذَا كَثِيرٌ فِي التَّابِعينَ، وَتَابِعِيهِم مَعَ الدِّينِ وَالوَرَعِ وَالصِّدِقِ. 

Bagi siapa yang bertanya, ia dapat mengatakan: Bagaimana mungkin kita memberikan kepercayaan kepada mubtadi' sedangkan kepercayaan yang utama adalah keadilan dan ketelitian? Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki bid'ah bisa dianggap adil? Jawabannya adalah bahwa ada dua jenis bid'ah: bid'ah kecil seperti ghuluw dalam ajaran Syiah atau seperti mengikuti Syiah tanpa ghuluw atau penyelewengan. Hal ini banyak terjadi pada para tabi'in dan para pengikutnya yang menjunjung tinggi agama, wara' (kehati-hatian dalam beragama) dan kejujuran.

*فَلو رُدَّ حَدِيثُ هَؤلَاءِ لَذَهَبَ جُمْلَةٌ مِنَ الآثَارِ النَّبَوِّيةِ، وَهَذِهِ مَفْسَدَةٌ بَيِّنَةٌ*. 

Jika hadits orang-orang ini ditolak, maka akan hilang sejumlah besar hadits-hadits yang berasal dari Nabi, dan ini jelas-jelas merugikan.

ثُمَّ بِدْعَةٌ كُبْرَى، كَالرَّفْضِ الكَامِلِ وَالغُلُوِ فِيهِ، وَالحَطِّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَمَا، وَالدُعَاءِ إِلَى ذَلِكَ، فَهَذَا النَّوعُ لَا يُحْتَجُّ بِهِم وَلَا كَرَامَة. 

وَأَيْضًا فَمَا أَسْتَحْضِرُ الآنَ فِي هَذَا الضَّربِ رَجُلًا صَادِقًا وَلَا مَأْمُونًا، بَلِ الكَذِبُ شِعَارُهُم، وَالتَّقِّيةُ وَالنِّفَاقُ دِثَارُهُم، فَكَيفَ يُقْبَلُ نَقْلُ مَنْ هَذَا حَالُه! حَاشَا وَكَلَّا.اﻫ

Kemudian, ada juga bid'ah yang lebih besar, seperti penolakan total dan fanatisme dalam Rafd (ajaran Syiah), menghina Abu Bakar dan Umar yang semoga Allah meridhainya, dan meminta orang lain untuk mengikuti ajaran tersebut. Bid'ah jenis ini tidak dapat digunakan sebagai argumen atau bahan untuk mendapatkan pujian.

Saat ini, saya tidak dapat mengingat seorang pun dalam kelompok tersebut yang dapat dianggap jujur ​​atau dapat dipercaya. Sebaliknya, kebohongan adalah lambang mereka, dan taqiyya dan nifak adalah tameng mereka. Bagaimana mungkin kita menerima ucapan dari orang-orang dengan karakter seperti itu! Tidak mungkin dan tidak mungkin.

وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في منهاج السنة (١/ ٦٥-٦٦):

وَتَنَازَعُوا فِي شَهَادَةِ سَائِرِ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ هَلْ تُقْبَلُ مُطْلَقًا؟ أَوْ تُرَدُّ مُطْلَقًا؟ أَوْ تُرَدُّ شَهَادَةُ الدَّاعِيَةِ إِلَى الْبِدَعِ؟ وَهَذَا الْقَوْلُ الثَّالِثُ هُوَ الْغَالِبُ عَلَى أَهْلِ الْحَدِيثِ لَا يَرَوْنَ الرِّوَايَةَ عَنِ الدَّاعِيَةِ إِلَى الْبِدَعِ، وَلَا شَهَادَتَهُ، وَلِهَذَا لَمْ يَكُنْ فِي كُتُبِهِمُ الْأُمَّهَاتِ كَالصِّحَاحِ، وَالسُّنَنِ، وَالْمَسَانِيدِ الرِّوَايَةُ عَنِ الْمَشْهُورِينَ بِالدُّعَاءِ إِلَى الْبِدَعِ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا الرِّوَايَةُ عَمَّنْ ْفيه نوع مِنْ بِدْعَةٍ كَالْخَوَارِجِ، وَالشِّيعَةِ، وَالْمُرْجِئَةِ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَذَلِكَ. لِأَنَّهُمْ لَمْ يَدَعُوَا الرِّوَايَةَ عَنْ هَؤُلَاءِ لِلْفِسْقِ كَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُهُمْ، *((وَلَكِنَّ مَنْ أَظْهَرَ بِدْعَتَهُ. وَجَبَ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ بِخِلَافِ مَنْ أَخْفَاهَا، وَكَتَمَهَا، وَإِذَا وَجَبَ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ كَانَ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَهْجُرَ حَتَّى يَنْتَهِيَ عَنْ إِظْهَارِ بِدْعَتِهِ، وَمِنْ هَجْرِهِ أَنْ لَا يُؤْخَذَ عَنْهُ الْعِلْمُ، وَلَا يُسْتَشْهَد))*َ.

Dalam kitab Minhaj As-Sunnah (1/65-66), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

Dan mereka berselisih dalam masalah kesaksian dari seluruh pengikut ahli bid'ah, apakah diterima secara mutlak atau ditolak secara mutlak ataukah kesaksian orang yang mengajak kepada bid'ah ditolak? Dan pendapat ketiga ini adalah yang dominan di kalangan ahli hadits, mereka tidak menerima riwayat dari orang yang mengajak kepada bid'ah dan tidak menerima kesaksian dari mereka. Karena itu, dalam kitab-kitab mereka seperti Ash-Shahih, As-Sunan, dan Al-Masanid, tidak ada riwayat dari orang-orang yang dikenal mengajak kepada bid'ah, meskipun ada riwayat dari mereka yang termasuk dalam jenis bid'ah seperti Khawarij, Syiah, Murji'ah, dan Qadariyah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menolak riwayat dari orang-orang tersebut karena kefasikan, seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang, tetapi karena mereka menghindari riwayat dari orang yang mengajak kepada bid'ah.

Namun, bagi orang yang menampakkan bid'ahnya, maka wajib untuk menolaknya, berbeda dengan orang yang menyembunyikan dan menutupi bid'ahnya. Ketika menolak orang yang menampakkan bid'ah, maka di antara konsekuensinya adalah ditinggalkan sampai ia berhenti menampakkan bid'ahnya. Dan dari meninggalkannya adalah tidak diambil ilmu dari dirinya dan tidak mengambil kesaksian dari dirinya.

وَكَذَلِكَ تَنَازَعَ الْفُقَهَاءُ فِي الصَّلَاةِ خَلْفَ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ، وَالْفُجُورِ مِنْهُمْ مَنْ أَطْلَقَ الْإِذْنَ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَطْلَقَ الْمَنْعَ.

Demikian pula, para ahli fiqih berselisih pendapat tentang shalat di belakang orang-orang yang memiliki pandangan sesat dan perilaku jahat di antara mereka. Ada di antara mereka yang mengizinkan shalat di belakang orang-orang tersebut, dan ada pula yang melarangnya. 

*((وَالتَّحْقِيقَ أَنَّ الصَّلَاةَ خَلْفَهُمْ لَا يُنْهَى عَنْهَا لِبُطْلَانِ صَلَاتِهِمْ فِي نَفْسِهَا لَكِنْ لِأَنَّهُمْ إِذَا أَظْهَرُوا الْمُنْكَرَ اسْتَحَقُّوا أَنْ يُهْجَرُوا، وَأَنْ لَا يُقَدَّمُوا فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَرْكُ عِيَادَتِهِمْ، وَتَشْيِيعُ جَنَائِزِهِمْ كُلُّ هَذَا مِنْ بَابِ الْهَجْرِ الْمَشْرُوعِ فِي إِنْكَارِ الْمُنْكَرِ لِلنَّهْيِ عَنْهُ))*.

Penting untuk diingat bahwa shalat di belakang mereka tidak dilarang karena shalat menjadi batal, namun karena jika mereka memperlihatkan keburukan, mereka pantas untuk dijauhi dan tidak diutamakan dalam shalat oleh kaum muslimin. Dari sini, disarankan untuk tidak mengunjungi mereka dan tidak menghadiri pemakaman mereka, semuanya ini dalam rangka meninggalkan dan menjauhi keburukan yang patut untuk dijauhi.

*((وَإِذَا عُرِفَ أَنَّ هَذَا هُوَ مِنْ بَابِ الْعُقُوبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عُلِمَ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ مِنْ قِلَّةِ الْبِدْعَةِ، وَكَثْرَتِهَا، وَظُهُورِ السُّنَّةِ، وَخَفَائِهَا، وَأَنَّ الْمَشْرُوعَ قَدْ يَكُونُ هُوَ التَّأْلِيفُ تَارَةً، وَالْهِجْرَانُ أُخْرَى))*، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَتَأَلَّفُ أَقْوَامًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِمَّنْ هُوَ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ ، وَمَنْ يَخَافُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةَ فَيُعْطِي الْمُؤَلَّفَةَ قُلُوبُهُمْ مَا لَا يُعْطِي غَيْرَهُمْ.

Dan ketika diketahui bahwa ini termasuk dalam hukuman syari'ah, maka diketahui bahwa hal ini berbeda tergantung pada kondisi, dari sedikitnya bid'ah dan banyaknya, munculnya sunnah dan kelemahannya, dan bahwa yang disyari'atkan bisa saja berupa mengumpulkan mereka (ahlul bid'ah) pada waktu tertentu dan hijrah pada waktu lainnya. Seperti yang dilakukan oleh Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- dengan mengumpulkan sekelompok orang musyrik yang baru saja masuk Islam dan orang-orang yang khawatir terkena fitnah sehingga memberikan kelembutan kepada mereka yang tidak diberikan kepada yang lainnya

قَالَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: «إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا، وَأَدَعُ رِجَالًا، وَالَّذِي أَدَعُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الَّذِي أُعْطِي. أُعْطِي رِجَالًا لِمَا جَعَلَ اللَّهُ. فِي قُلُوبِهِمْ مِنَ الْهَلَعِ، وَالْجَزَعِ، وَأَدَعُ رِجَالًا لِمَا جَعَلَ اللَّهُ فِي قُلُوبِهِمْ مِنَ الْغِنَى، وَالْخَيْرِ، مِنْهُمْ عَمْرُو بْنُ تَغْلِبَ».

Beliau berkata dalam hadits sahih: "Aku memberi kepada beberapa orang dan aku menahan dari memberi kepada yang lain. Yang aku menahan dari memberi adalah lebih aku cintai daripada yang aku beri. Aku memberi kepada orang-orang karena Allah telah menanamkan di dalam hati mereka rasa takut dan kegelisahan. Dan aku menahan dari memberi kepada orang-orang karena Allah telah menanamkan dalam hati mereka kekayaan dan kebaikan. Di antara mereka adalah Amr bin Taghlib."

وَقَالَ: «إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي النَّارِ»، أَوْ كَمَا قَالَ . وَكَانَ يَهْجُرُ بَعْضَ الْمُؤْمِنِينَ،  كَمَا هَجَرَ الثَّلَاثَةَ الَّذِينَ خُلِّفُوا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ دَعْوَةُ الْخَلْقِ إِلَى طَاعَةِ اللَّهِ بِأَقْوَمِ طَرِيقٍ، فَيَسْتَعْمِلُ الرَّغْبَةَ حَيْثُ تَكُونُ أَصْلَحَ، وَالرَّهْبَةَ حَيْثُ تَكُونُ أَصْلَحَ.

وَمَنْ عَرَفَ هَذَا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ مَنْ رَدَّ الشَّهَادَةَ وَالرِّوَايَةَ مُطْلَقًا مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ الْمُتَأَوِّلِينَ، فَقَوْلُهُ ضَعِيفٌ، فَإِنَّ السَّلَفَ قَدْ دَخَلُوا بِالتَّأْوِيلِ فِي أَنْوَاعٍ عَظِيمَةٍ.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata: "Saya lebih mencintai memberi kepada seseorang daripada yang lainnya karena takut dia akan diseret ke dalam api neraka oleh Allah." Atau seperti itu yang beliau katakan. Beliau juga mengasingkan sebagian orang mukmin, seperti ketika beliau mengasingkan tiga orang yang tertinggal dalam ekspedisi Tabuk, karena tujuan utama adalah untuk mengajak makhluk Allah kepada taat kepada Allah dengan cara yang paling baik. Oleh karena itu, digunakan metode tarhib jika hal itu yang lebih baik dan tarhib jika ternyata itu yang lebih baik.

Dan siapa yang memahami ini, maka jelas baginya bahwa orang yang menolak kesaksian dan riwayat dengan cara mutlak adalah dari ahli bid'ah yang menafsirkan sesuai keinginan mereka. Ungkapan mereka adalah lemah, karena para salaf telah menggunakan interpretasi dalam berbagai macam hal yang besar.

وَمَنْ جَعَلَ الْمُظْهِرَيْنِ لِلْبِدْعَةِ أَئِمَّةً فِي الْعِلْمِ وَالشَّهَادَةِ لَا يُنْكِرُ عَلَيْهِمْ بِهَجْرٍ وَلَا رَدْعٍ فَقَوْلُهُ ضَعِيفٌ أَيْضًا، وَكَذَلِكَ مَنْ صَلَّى خَلْفَ الْمُظْهِرِ لِلْبِدَعِ، وَالْفُجُورِ مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ عَلَيْهِ، وَلَا اسْتِبْدَالٍ بِهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ، فَقَوْلُهُ ضَعِيفٌ، وَهَذَا يَسْتَلْزِمُ إِقْرَارَ الْمُنْكَرِ الَّذِي يُبْغِضُهُ اللَّهُ، وَرَسُولُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى إِنْكَارِهِ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ، وَمَنْ أَوْجَبَ الْإِعَادَةَ عَلَى كُلِّ مَنْ صَلَّى خَلْفَ كُلِّ ذِي، فُجُورٍ، وَبِدْعَةٍ، فَقَوْلُهُ ضَعِيفٌ، فَإِنَّ السَّلَفَ، وَالْأَئِمَّةَ  مِنَ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ صَلَّوْا خَلْفَ هَؤُلَاءِ، وَهَؤُلَاءِ لَمَّا كَانُوا وُلَاةً عَلَيْهِمْ، وَلِهَذَا كَانَ مِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ الصَّلَوَاتِ الَّتِي يُقِيمُهَا وُلَاةُ الْأُمُورِ تُصَلَّى خَلْفَهُمْ عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا، كَمَا يُحَجُّ مَعَهُمْ، وَيُغْزَى مَعَهُمْ.اﻫ

وقد نقل شيخنا الإمام الوادعي رحمه الله هذا الكلام في مقدمة كتابه ”الإلحاد الخميني على أرض الحرمين“ وأقرَّه.

Dan siapa yang menjadikan pemimpin dalam ilmu dan saksi dari kalangan orang-orang yang menampakkan bid'ah, dan tidak mengingkari mereka dengan hajr dan mencegah, maka perkataannya juga lemah. Begitu juga orang yang shalat di belakang pemimpin bid'ah dan kefasikan tanpa menolaknya atau menggantinya dengan yang lebih baik darinya jika mampu, maka perkataannya juga lemah. Ini menuntut pengakuan terhadap kemungkaran yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya serta mampu menolaknya, yang tidak diperbolehkan. Dan siapa yang memerintahkan agar semua orang yang shalat di belakang setiap orang yang melakukan kemungkaran dan bid'ah harus diulang, maka perkataannya juga lemah. Karena Salaf dan para Imam dari para sahabat dan tabi'in shalat di belakang orang-orang ini ketika mereka adalah pemimpin mereka. Oleh karena itu, dari prinsip-prinsip Ahlussunnah adalah bahwa shalat-sholat yang ditegakkan oleh pemimpin pemerintahan, maka sholat di belakang mereka tanpa memandang kondisi atau status mereka. Hal ini juga berlaku pada pelaksanaan ibadah haji dan jihad di mana umat Islam harus bersama-sama dengan para pemimpin mereka.

Sheikh kami Al-Imam Al-Wada'i telah mengutip pernyataan ini dalam pengantar bukunya "Al-Ilhad Al-Khomeini Ala Ardil Haramain" dan menyetujuinya.

قال أبو عبد الله غفر الله له: 

ذكرنا هذه المسألة مثالا لترك هجر التأديب والإهانة والزجر للمبتدع لوجود مصلحة راجحة. وعليه يحمل صنيع السلف في هذه المسألة؛ فتأمل قول الإمام ابن المديني الذي نقله عنه الإمام ابن رجب: (لَو تركت أَهل البَصْرَةِ لِلقَدَرِ، وتركت أَهْل الكُوفَةِ لِلتَّشَيُعِ لخَرِبَت الكُتُب)، وقول الإمام ابن دقيق العيد: (فَحِينَئِذٍ تقدم مصلحَة حفظ الحَدِيث على مصلحَة إهانة المبتدع)، وقول الإمام الذهبي: (فلو رد حديث هؤلاء لذهب جملة من الآثار النبوية، وهذه مفسدة بينة).

Abu Abdillah (semoga Allah merahmatinya) berkata: 

Kami menyebutkan masalah ini sebagai contoh untuk meninggalkan penghinaan, penghukuman, dan penegahan terhadap orang yang menyimpang jika ada kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu, ini adalah praktek dari generasi salaf dalam masalah ini. Perhatikanlah ucapan Imam Ibn Al-Madini yang dikutip oleh Imam Ibn Rajab: "Jika Ahlul Basrah ditinggalkan karena masalah takdir, dan Ahlul Kufah ditinggalkan karena masalah tashayyu', maka kitab-kitab akan rusak." dan ucapan Imam Ibn Daqiq Al-'Eid: "Dan terkadang didahulukan maslahat menjaga hadits nabi daripada daripada kepentingan menghina orang sesat." dan ucapan Imam Adz-Dzahabi: "Jika hadits dari orang-orang ini ditolak, maka sejumlah besar riwayat dari Nabi akan hilang, dan ini merupakan kerusakan yang nyata".

فَهَذَا يَتَوَافَقُ فِي أَصْلِ مُرَاعَاةِ المَصْلَحَةِ مَعَ قَولِ شَيخِ الإِسْلَامِ رَحِمَهُ اللهُ المُتَقدِّمِ: *(وَهَذَا الْهَجْرُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْهَاجِرِينَ فِي قُوَّتِهِمْ وَضَعْفِهِمْ وَقِلَّتِهِمْ وَكَثْرَتِهِمْ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ زَجْرُ الْمَهْجُورِ وَتَأْدِيبُهُ وَرُجُوعُ الْعَامَّةِ عَنْ مِثْلِ حَالِهِ. فَإِنْ كَانَتْ الْمَصْلَحَةُ فِي ذَلِكَ رَاجِحَةً بِحَيْثُ يُفْضِي هَجْرُهُ إلَى ضَعْفِ الشَّرِّ وَخِفْيَتِهِ كَانَ مَشْرُوعًا. وَإِنْ كَانَ لَا الْمَهْجُورُ وَلَا غَيْرُهُ يَرْتَدِعُ بِذَلِكَ بَلْ يُزِيدُ الشَّرَّ، وَالْهَاجِرُ ضَعِيفٌ بِحَيْثُ يَكُونُ مَفْسَدَةُ ذَلِكَ رَاجِحَةً عَلَى مَصْلَحَتِهِ لَمْ يُشْرَعْ الْهَجْرُ)*.

Pernyataan ini sejalan dengan prinsip memperhatikan kemaslahatan yang dikemukakan oleh Sheikhul Islam, semoga Allah merahmatinya, yang mengatakan, "Hajr ini bervariasi tergantung pada kekuatan, kelemahan, sedikit atau banyaknya orang yang melakukan hajr. Karena tujuan dari meninggalkan seseorang yang ditinggalkan adalah untuk menghukumnya dan mendisiplinnya serta membuat orang-orang yang lain kembali dari tindakan serupa. Jika kepentingan yang melatarbelakangi hajr sangat besar sehingga jika dengannya akan mengarah pada kelemahan dan pengurangan kejahatan, maka pada kondisi seperti ini hajr disyariatkan untuk ditegakkan. Namun jika orang yang ditinggalkan dan orang lain tidak jera karena hajr tersebut, bahkan malah semakin memperburuk keadaan, dan pelaku hajr sendiri lemah sehingga tindakan ini lebih merugikan daripada menguntungkan, maka hajr tidak diperbolehkan."

 وقوله الآخر: *(وَإِذَا عُرِفَ أَنَّ هَذَا هُوَ مِنْ بَابِ الْعُقُوبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عُلِمَ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ مِنْ قِلَّةِ الْبِدْعَةِ، وَكَثْرَتِهَا، وَظُهُورِ السُّنَّةِ، وَخَفَائِهَا، وَأَنَّ الْمَشْرُوعَ قَدْ يَكُونُ هُوَ التَّأْلِيفُ تَارَةً، وَالْهِجْرَانُ أُخْرَى)*.


Pernyataan lainnya adalah: "Dan jika diketahui bahwa ini termasuk dalam kategori hukuman syariat, maka perlu diketahui bahwa hal ini bervariasi tergantung pada kondisi-kondisi tertentu, baik itu sedikitnya bid'ah atau banyaknya, semakin nampaknya sunnah atau kelemahannya, dan bahwa yang disyariatkan dalam hal ini bisa saja berupa kelembutan pada satu waktu dan atau hajr pada waktu lain."

وفي مجموع فتاوى ابن باز رحمه الله (٩/ ٤٢٣) ما نصه:

س: متى تشرع مقاطعة المبتدع؟ ومتى يشرع البغض في الله؟ وهل تشرع المقاطعة في هذا العصر؟

ج: المؤمن ينظر في هذه المقامات بنظر الإيمان والشرع والتجرد من الهوى، فإذا كان هجره للمبتدع وبعده عنه لا يترتب عليه شر أعظم فإن هجره حق، وأقل أحواله أن يكون سنة، وهكذا هجر من أعلن المعاصي وأظهرها أقل أحواله أنه سنة أما إن كان عدم الهجر أصلح لأنه يرى أن دعوة هؤلاء المبتدعين وإرشادهم إلى السنة وتعليمهم ما أوجب الله عليهم يؤثر فيهم ويزيدهم هدى فلا يعجل في الهجر، ولكن يبغضهم في الله كما يبغض الكافر والعصاة، لكن يكون بغضه للكفار أشد مع دعوتهم إلى الله سبحانه والحرص على هدايتهم عملا بجميع الأدلة الشرعية؛ ويبغض المبتدع على قدر بدعته إن كانت غير مكفرة والعاصي على قدر معصيته، ويحبه في الله على قدر إسلامه وإيمانه، وبذلك يعلم أن الهجر فيه تفصيل.

Dan dalam kitab Majmu' Fatawa Ibn Baz (9/423) berbunyi:

Pertanyaan: Kapan diwajibkan memutus hubungan (hajr) dengan ahlul bid'ah? Kapan diwajibkan membenci seseorang karena Allah? Apakah termasuk disyariatkan untuk meng-hajr ahlul bid'ah di zaman ini?

Jawaban: 

Seorang mukmin harus memandang masalah ini dengan pandangan iman, syariah, dan mengesampingkan hawa nafsu. Jika hajr pada seseorang yang mempraktikkan bid'ah tidak menyebabkan lebih banyak kerusakan, maka meng-hajrnya adalah wajib. Dalam keadaan paling ringan, meng-hajr orang yang mempraktikkan bid'ah adalah sunnah. Sama halnya jika seseorang meng-hajr orang yang mempromosikan perbuatan maksiat dan menampakkannya, maka minimal ya meng-hajrnya juga sunnah. 

Jika dengan tidak meng-hajr mereka adalah lebih baik karena melihat bahwa dengan dakwah dan mengarahkan orang-orang yang melakukan bid'ah tersebut ke arah sunnah serta mengajarkan apa yang diwajibkan oleh Allah pada mereka dapat lebih mempengaruhi mereka dan menambah petunjuk bagi mereka, maka jangan terburu-buru dalam melakukan hajr pada mereka.

Namun, tetaplah membenci mereka karena Allah seperti membenci orang kafir dan orang yang berdosa. Akan tetapi, kebencian terhadap orang kafir lebih besar bersamaan dengan itu tetap mendakwahi mereka untuk mengikuti jalan Allah dan bersungguh-sungguh dalam menghidupkan hidayah pada mereka sesuai dengan semua dalil syariah. Kita membenci orang yang mempraktikkan bid'ah sesuai dengan tingkat bid'ah yang mereka lakukan jika tidak dianggap sebagai bid'ah mukaffirah, dan membenci orang yang bermaksiat sesuai dengan tingkat maksiat yang mereka lakukan. 

Kita mencintai mereka karena Allah sejauh iman dan Islam mereka. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa meng-hajr dalam hal ini memiliki penjelasan yang berbeda-beda (tafshil).

وقد قال ابن عبد القوي في نظمه المقنع ما نصه:

هجران من أبدى المعاصي سنة * وقد قيل إن يردعه أوجب وآكد
وقيل على الإطلاق ما دام معلنا * ولاقه بوجه مكفهر مربد

Dalam syairnya yang indah, Ibn Abdulqawi menyatakan:

Berjauhanlah dari orang yang menampakan dosa sepanjang tahun,
Dikatakan menakutinya adalah kewajiban yang sangat ditegaskan.

Dan dikatakan selama dia tanpa ragu mengumumkan,
Dia akan menemui wajah yang muram dan cemas, penuh dengan keraguan.


والخلاصة: أن الأرجح والأولى النظر إلى المصلحة الشرعية في ذلك؛ لأنه صلى الله عليه وسلم هجر قوما وترك آخرين لم يهجرهم مراعاة للمصلحة الشرعية الإسلامية، فهجر كعب بن مالك وصاحبيه رضي الله عنهم لما تخلفوا عن غزوة تبوك بغير عذر هجرهم خمسين ليلة حتى تابوا فتاب الله عليهم، ولم يهجر عبد الله بن أبي ابن سلول وجماعة من المتهمين بالنفاق لأسباب شرعية دعت إلى ذلك.

Intinya adalah lebih cenderung dan lebih tepat untuk mempertimbangkan kepentingan syariat dalam hal itu. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam meninggalkan sebagian orang dan meninggalkan yang lainnya karena memperhatikan kepentingan syariat Islam. Sebagai contoh, beliau meninggalkan Ka'ab bin Malik dan dua temannya karena mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk tanpa alasan yang jelas. Mereka ditinggalkan selama lima puluh malam hingga mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka. Namun, Nabi Muhammad tidak meninggalkan Abdullah bin Ubay dan sekelompok orang yang dituduh munafik karena alasan syariat yang memanggilnya untuk tidak melakukan hal itu.

فالمؤمن ينظر في الأصلح، وهذا لا ينافي بغض الكافر والمبتدع والعاصي في الله سبحانه ومحبة المسلم في الله عز وجل، وعليه أن يراعي المصلحة العامة في ذلك، فإن اقتضت الهجر هجر، وإن اقتضت المصلحة الشرعية الاستمرار في دعوتهم إلى الله عز وجل وعدم هجرهم فعل ذلك مراعاة لهديه صلى الله عليه وسلم.اﻫ

Pada dasarnya, seorang mukmin harus mempertimbangkan kepentingan yang lebih baik dalam hal ini. Namun hal ini tidak bertentangan dengan membenci orang kafir, sesat, dan durhaka kepada Allah Ta'ala serta mencintai sesama muslim di jalan Allah Ta'ala yang Maha Agung. Oleh karena itu, dia harus memperhatikan kepentingan umum dalam hal ini. Jika hajr diperlukan, maka dia harus hajr, dan jika kepentingan syari'at memerlukan untuk terus menyeru mereka kepada Allah Ta'ala dan tidak meninggalkan mereka, maka melakukan hal tersebut dengan memperhatikan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

وفي لقاء الباب المفتوح للإمام العثيمين رحمه الله (١٤٥/ ٢٥) ما نصه:

السؤال: المبتدع هل نسلم عليه؟

الجواب: المبتدع إن كان داعياً لبدعته، وكان في هجره مصلحة لا تسلم عليه، وأما إذا لم يكن في هجره مصلحة فسلم، صاحب البدعة إذا هجرته اتخذك عدوًا وأثار الناس عليك، ولا فائدة من هجره، ولكن إذا كان في هجره فائدة بأن كان الرجل كبيراً في قومه وله منزلته، وصار هذا المبتدع إذا هجره هذا الرجل سوف يهتم بهذا؛ فلا بأس، وهذه قاعدة عامة، كل من كان على معصية ليست بكفر فلا يجوز هجره إلا إذا كان في ذلك مصلحة.اﻫ


Dalam pertemuan yang terbuka dengan Imam Al-'Utsaimin rahimahullah (145/25), beliau ditanya sebagai berikut:

Pertanyaan: Apakah kita boleh memberi salam pada seorang mubtadi’?

Jawaban: 

Jika mubtadi' tersebut adalah da'i pada bid’ahnya dan terdapat manfaat dalam hajr atau meninggalkannya, maka jangan memberi salam padanya. Namun, jika tidak ada manfaat dalam hajr atau meninggalkannya, maka salamilah dia. Jika seseorang yang menyeru bid’ah dijauhi dia akan menjadi musuh dan akan membangkitkan orang untuk melawanmu, tidak ada manfaat dalam hajr pada kondisi ini. Tetapi jika meninggalkannya akan memberikan manfaat, karena orang yang meng-hajr tersebut memiliki posisi penting di masyarakatnya dan mungkin dia akan memperhatikan jika di-hajr, maka tidak ada masalah. Ini adalah kaidah umum, bahwa setiap orang yang melakukan dosa yang bukan kufur, tidak boleh dijauhi kecuali jika terdapat manfaat dalam tindakan tersebut.

والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبيه الأمين، وعلى آله وصحبه أجمعين. 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi yang amanah, keluarganya, dan para sahabatnya.

كتبه/ أبو عبد الله محمد بن علي بن حزام الفضلي البعداني 
 يوم الجمعة الموافق/ ٢٧/ شوال/١٤٤١ﻫ 
في دار الحديث السلفية بإب

Ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fadhli Al-Badani 
Pada hari Jumat, tanggal 27 Syawal 1441 H
di Darul Hadith As-Salafiyyah, Ibb, Yaman.


-- Walhamdulillah, selesei diterjemahkan pada hari Ahad, 9 Syawwal 1444H / 30-04-2023

TRENDING