Nukilan ini diambil dari bagian akhir pembahasan Asy-Syaikh Muhammad bin Hizam hafidzahullah di sini
وفي مجموع فتاوى ابن باز رحمه الله (٩/ ٤٢٣) ما نصه:
س: متى تشرع مقاطعة المبتدع؟ ومتى يشرع البغض في الله؟ وهل تشرع المقاطعة في هذا العصر؟
ج: المؤمن ينظر في هذه المقامات بنظر الإيمان والشرع والتجرد من الهوى، فإذا كان هجره للمبتدع وبعده عنه لا يترتب عليه شر أعظم فإن هجره حق، وأقل أحواله أن يكون سنة، وهكذا هجر من أعلن المعاصي وأظهرها أقل أحواله أنه سنة أما إن كان عدم الهجر أصلح لأنه يرى أن دعوة هؤلاء المبتدعين وإرشادهم إلى السنة وتعليمهم ما أوجب الله عليهم يؤثر فيهم ويزيدهم هدى فلا يعجل في الهجر، ولكن يبغضهم في الله كما يبغض الكافر والعصاة، لكن يكون بغضه للكفار أشد مع دعوتهم إلى الله سبحانه والحرص على هدايتهم عملا بجميع الأدلة الشرعية؛ ويبغض المبتدع على قدر بدعته إن كانت غير مكفرة والعاصي على قدر معصيته، ويحبه في الله على قدر إسلامه وإيمانه، وبذلك يعلم أن الهجر فيه تفصيل.
Dan dalam kitab Majmu' Fatawa Ibn Baz (9/423) berbunyi:
Jawaban:
Seorang mukmin harus memandang masalah ini dengan pandangan iman, syariah, dan mengesampingkan hawa nafsu. Jika hajr pada seseorang yang mempraktikkan bid'ah tidak menyebabkan lebih banyak kerusakan, maka meng-hajrnya adalah wajib. Dalam keadaan paling ringan, meng-hajr orang yang mempraktikkan bid'ah adalah sunnah. Sama halnya jika seseorang meng-hajr orang yang mempromosikan perbuatan maksiat dan menampakkannya, maka minimal ya meng-hajrnya juga sunnah.
Jika dengan tidak meng-hajr mereka adalah lebih baik karena melihat bahwa dengan dakwah dan mengarahkan orang-orang yang melakukan bid'ah tersebut ke arah sunnah serta mengajarkan apa yang diwajibkan oleh Allah pada mereka dapat lebih mempengaruhi mereka dan menambah petunjuk bagi mereka, maka jangan terburu-buru dalam melakukan hajr pada mereka.
Namun, tetaplah membenci mereka karena Allah seperti membenci orang kafir dan orang yang berdosa. Akan tetapi, kebencian terhadap orang kafir lebih besar bersamaan dengan itu tetap mendakwahi mereka untuk mengikuti jalan Allah dan bersungguh-sungguh dalam menghidupkan hidayah pada mereka sesuai dengan semua dalil syariah. Kita membenci orang yang mempraktikkan bid'ah sesuai dengan tingkat bid'ah yang mereka lakukan jika tidak dianggap sebagai bid'ah mukaffirah, dan membenci orang yang bermaksiat sesuai dengan tingkat maksiat yang mereka lakukan.
Kita mencintai mereka karena Allah sejauh iman dan Islam mereka. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa meng-hajr dalam hal ini memiliki penjelasan yang berbeda-beda (tafshil).
وفي لقاء الباب المفتوح للإمام العثيمين رحمه الله (١٤٥/ ٢٥) ما نصه:
السؤال: المبتدع هل نسلم عليه؟
الجواب: المبتدع إن كان داعياً لبدعته، وكان في هجره مصلحة لا تسلم عليه، وأما إذا لم يكن في هجره مصلحة فسلم، صاحب البدعة إذا هجرته اتخذك عدوًا وأثار الناس عليك، ولا فائدة من هجره، ولكن إذا كان في هجره فائدة بأن كان الرجل كبيراً في قومه وله منزلته، وصار هذا المبتدع إذا هجره هذا الرجل سوف يهتم بهذا؛ فلا بأس، وهذه قاعدة عامة، كل من كان على معصية ليست بكفر فلا يجوز هجره إلا إذا كان في ذلك مصلحة.اﻫ
Dalam pertemuan yang terbuka dengan Imam Al-'Utsaimin rahimahullah (145/25), beliau ditanya sebagai berikut:
Pertanyaan: Apakah kita boleh memberi salam pada seorang mubtadi’?
Jawaban:
Jika mubtadi' tersebut adalah da'i pada bid’ahnya dan terdapat manfaat dalam melakukan hajr, maka jangan memberi salam padanya. Namun, jika tidak ada manfaat dalam hajr, maka salamilah dia. Jika seorang yang menyeru bid’ah dijauhi dia akan menjadi musuh dan akan membangkitkan orang untuk melawanmu, tidak ada manfaat dalam hajr pada kondisi ini. Tetapi jika meng-hajrnya akan memberikan manfaat, karena orang yang melakukannya memiliki posisi penting di masyarakatnya dan mungkin dia akan memperhatikan jika di-hajr, maka tidak ada masalah.
Ini adalah kaidah umum, bahwa setiap orang yang melakukan dosa yang bukan kufur, tidak boleh dijauhi kecuali jika terdapat manfaat dalam tindakan tersebut.
Baca selengkapnya di sini https://ibnuhizam.blogspot.com/2023/04/pedoman-dalam-hajrul-mubtadiah-4.html
Terkait istilah MUBTADI atau AHLUL BID'AH, kamu bisa dapat faedah dari dirosah DHOWABITH AL-JARH WAT-TA'DIL di sini